Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan perspektif global terdiri atas beberapa
zaman, yaitu zaman prapestisida, zaman optimisme, zaman keraguan, dan zaman PHT (Flint dan van den Bosch 1990; Norris et al. 2003). Zaman PHT dikelompokkan menjadi dua era, yaitu PHT berbasis teknologi dan PHT berbasis ekologi.
1. Zaman Prapestisida
Pada zaman prapestisida, pengendalian hama dilakukan dengan cara bercocok tanam dan pengendalian hayati berdasarkan pemahaman biologi hama. Cara ini telah dilakukan oleh bangsa Cina lebih dari 3000 tahun yang lalu. Pada tahun 2500 SM, orang Sumeria menggunakan sulfur untuk mengendalikan serangga tungau (Flint dan van den Bosch 1990). Pengendalian secara bercocok tanam dan hayati pada tanaman padi telah dilakukan di Indonesia sejak zaman kerajaan di Nusantara, mulai dari Kerajaan Purnawarman, Mulawarman, Sriwijaya, Majapahit, Mataram sampai era penjajahan Belanda.
2. Zaman Optimisme
Zaman optimisme terjadi pada tahun 1945-1962. Pada zaman itu dimulai penggunaan insektisida diklor difenol trikloroetan (DDT), fungisida ferbam, dan herbisida 2,4 D (Flint dan van den Bosch 1990). Selama lebih kurang 10 tahun, penggunaan pestisida menjadi bagian rutin dari kegiatan budi daya tanaman, seperti halnya pengolahan tanah dan pemupukan. Pada zaman optimisme, pengendalian OPT tidak memerhatikan perkembangan pemahaman biologi hama. Petani ingin pertanamannya bebas hama sehingga melakukan aplikasi pestisida secara berjadwal dan berlebihan.
3. Zaman Keraguan
Zaman keraguan diawali dengan terbitnya buku Silent Spring oleh Carson (1962) yang membuka mata dunia tentang seriusnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh DDT. Buku tersebut merupakan tangis kelahiran bayi dari gerakan peduli lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis pestisida merusak kelestarian lingkungan biotik dan abiotik di daerah beriklim sedang maupun tropik (Widianarko et al. 1994; Oka 1995).
Salah satu contoh adalah lalat rumah menjadi resisten terhadap DDT sejak tahun 1946. Hal tersebut semakin menjadi perhatian pada era ini. Kurang berhasilnya pengendalian hama secara konvensional mendorong berkembangnya paradigma baru yang berusaha meminimalkan penggunaan pestisida serta dampak negatifnya. Paradigma tersebut dikenal dengan istilah PHT klasik atau PHT teknologi karena pendekatan paradigma ini berorientasi pada teknologi pengendalian hama (Untung 2006).
4. Zaman PHT Teknologi
Tahun 1970 merupakan awal dari revolusi hijau pestisida, pupuk sintetis, dan varietas unggul (IR5, IR8, C4, Pelita I-1, dan Pelita I-2), yang merupakan paket produksi. Teknologi baru ini mendorong timbulnya permasalahan wereng coklat, yaitu munculnya biotipe baru. Revolusi hijau telah mendorong petani makin bergantung pada pestisida dalam mengendalikan OPT. Kondisi ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. PHT diawali dengan terbentuknya Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat pada tahun 1972 dan pengalihan wewenang registrasi pestisida dari Departemen Pertanian ke EPA. Pada tahun 1980-1990, berbagai negara menetapkan PHT sebagai kebijakan nasional. Zaman PHT diperkuat oleh terbentuknya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tanggal 14 Juni 1992, mengadopsi seksi I Integrated Pest Management and Control in Agriculture dari Agenda 21 Bab 14 tentang Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (Norris et al. 2003). PHT dicetuskan oleh Stern et al. (1959). Selanjutnya, paradigma PHT berkembang dan diperkaya oleh banyak pakar di dunia serta telah diterapkan di seluruh dunia. Di Indonesia, PHT didukung oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Inpres No 3/1986 yang melarang 57 jenis insektisida, dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Pada tahun 1996 keluar keputusan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian tentang batas maksimum residu, serta UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan.
5. Zaman PHT Berbasis Ekologi
Paradigma baru PHT menempatkan petani sebagai penentu dan pelaksana utama PHT di tingkat lapangan. Kenmore (1996) menyatakan bahwa dalam perkembangan perkembangannya, PHT tidak terbatas sebagai teknologi saja, melainkan telah berkembang menjadi suatu konsep mengenai proses penyelesaian masalah OPT di lapangan. PHT berbasis ekologi didorong oleh pengembangan dan penerapan PHT berdasarkan pengertian ekologi lokal hama dan pemberdayaan petani sehingga pengendalian hama disesuaikan dengan masalah yang ada di tiap-tiap lokasi (local specific). Paradigma PHT berbasis ekologi lebih menekankan pengelolaan proses dan mekanisme ekologi lokal untuk mengendalikan hama dari pada intervensi teknologi (Untung 2006).
Ekologi lokal yang dikemas ke dalam kearifan lokal (local wisdom) menjadi eco-farming melalui pemanfaatan mikroorganisme lokal untuk mendapatkan agens hayati yang sesuai untuk pengendalian hama. Selanjutnya, Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) diterapkan pada tanaman pangan, sayuran, dan perkebunan.
6. Pengendalian Hama Terpadu
Sejak satu abad yang lalu, para pakar perlindungan tanaman telah mengetahui bahwa pengendalian hama dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami, tanaman resisten, dan pengelolaan lingkungan (rotasi tanaman, sanitasi, dan pengelolaan tanah) (Sastrosiswojo 1989). Pengertian PHT atau integrated pest control ata integrated pest management adalah system pengambilan keputusan dalam memilih dan menerapkan taktik pengendalian OPT yang dipadukan ke dalam strategi pengelolaan usaha tani dengan berdasarkan pada analisis biaya/manfaat, dengan mempertimbangkan kepentingan dan dampaknya pada produsen, masyarakat, dan lingkungan (Kogan 1998).
Taktik pengendalian OPT meliputi:
a) penggunaan varietas tahan atau toleran;
b) mengusahakan pertumbuhan tanaman yang sehat dengan berbagai kultur teknik;
c) memanfaatkan agens hayati yaitu predator, parasitoid, dan patogen serangga;
d) menerapkan pengendalian secara fisikmekanik;
e) menggunakan zat-zat kimia semio seperti hormon/feromon, pengendalian secara genetik dengan teknik jantan mandul; dan
f) menggunakan pestisida bila diperlukan.
PHT bukan tujuan, melainkan suatu pendekatan ilmiah untuk mencapai sasaran, yaitu pengendalian hama agar secara ekonomis tidak merugikan, mempertahankan kelestarian lingkungan, serta menguntungkan petani dan konsumen (Sastrosiswojo 1989; Oka 1992).
PHT pada awalnya adalah perpaduan antara pengendalian secara hayati dan pengendalian kimiawi. Konsepsi tersebut kemudian berkembang menjadi perpaduan semua cara pengendalian dalam satu kesatuan untuk mencapai hasil panen yang optimal dan dampak eksternal terhadap lingkungan yang minimal (Smith dan van den Bosch 1967; Galagher 1996; Sastrosiswojo dan Oka 1997).
Dengan demikian, falsafah PHT adalah suatu pendekatan pertanian berkelanjutan dengan landasan ekologi yang kokoh, bukan melakukan pemberantasan atau pemusnahan hama dan penyakit, tetapi mengelola atau mengendalikan tingkat populasi hama atau penyakit agar tetap berada di bawah ambang kerusakan secara ekonomis (Zadoks dan Schein 1979; Untung 1984).
Meningkatnya populasi hama disebabkan oleh berkurangnya musuh alami serta timbulnya resistensi dan resurjensi. Sebagai contoh adalah kasus meningkatnya populasi wereng coklat (Laba 1986;Laba dan Soekarna 1986; Laba, 1987; Laba dan Soejitno 1987; Laba dan Sumpena 1988).
PHT wereng coklat merupakan konsep pengendalian untuk mengurangi populasi dengan menerapkan komponen PHT, yaitu varietas tahan, pergiliran tanaman, dan memanfaatkan musuh alami. Mencegah atau memperlambat resistensi dan resurjensi wereng coklat adalah dengan menghindari penggunaan insektisida Analisis empiris penggunaan insektisida ... 127 dan bahan aktif yang sama secara terusmenerus (Laba 1988).
Penerapan PHT memberikan nilai positif terhadap peningkatan produksi serta keterampilan dan pengetahuan petani sehingga dapat mengurangi penggunaan insektisida. Hasil pengkajian pengurangan insektisida pada tanaman padi saja mencapai Rp19.000/ha (Oka 1995). Luas panen pada tahun 2008 sebesar 12,38 juta ha (http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/ table.shtml).
Pada saat sekarang, harga pestisida rata-rata Rp100.000/liter dan tidak ada subsidi pestisida dari pemerintah sehingga pengurangan biaya produksi tidak kurang dari Rp1,2 triliun/musim tanam. Penghematan penggunaan insektisida dalam satu tahun (dua kali tanam) adalah Rp2,4 triliun.
Penerapan PHT dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu bertujuan untuk meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan dan efisiensi produksi dengan memerhatikan sumber daya dankemampuan petani. PTT dapat ditempuh melalui empat prinsip, yaitu:
1. PTT merupakan suatu pendekatan dalam budi daya tanaman yang menekankan pada pengelolaan tanaman, lahan, air, dan PHT;
2. PTT secara sinergis memanfaatkan komponen teknologi;
3. PTT memerhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik dan sosial ekonomi petani; dan
4. PTT bersifat partisipatif, yang berarti petani berperan aktif dalam memilih teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan memiliki kemampuan melalui proses pembelajaran (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007).
Komponen teknologi yang diterapkan melalui PTT adalah:
1. penggunaan varietas unggul baru spesifik lokasi
2. penggunaan benih bermutu
3. penanaman 1-3 bibit per lubang
4. peningkatan populasi tanaman melalui sistem tegel 20 cm x 20 cm atau jajar legowo
5. penyiangan menggunakan rotary weeder atau landak
6. PHT; dan
7. panen menggunakan mesin thresher (Las et al. 2003; Zaini et al. 2003).
Sejarah Perlindungan Tanaman Indonesia
Menurut
Untung (2007), kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia telah
berlangsung sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa
penjajahan Belanda sebelum tahun 1900, kegiatan pertanian masih bersifat
alami, hanya diusahakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri serta belum
tersentuh ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekitar tahun 1600, VOC yang
merupakan kumpulan pedagang Belanda menguasai perdagangan produk-produk
pertanian Indonesia terutama pulau Jawa. Komoditas yang berkembang saat
itu didominasi tanaman perkebunan yakni cengkeh, kopi dan gula tebu.
Setelah VOC bangkrut, kekuasaan beralih pada pemerintahan kolonial
Belanda. Selama pemerintahan ini perkebunan khususnya kopi, tebu, kakao
dan tembakau mulai dikembangkan. Kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) mulai dijalankan tahun 1830-1870.
Perkembangan
kegiatan penelitian pertanian dan pembentukan dinas khusus yang
menangani pertanian rakyat baru terlihat pada masa penjajahan Belanda
setelah tahun 1900. Pendirian Kebun Raya Bogor dianggap sebagai tonggak
dimulainya kegiatan-kegiatan pertanian di Indonesia, termasuk penelitian
hama dan penyakit tanaman. Lembaga-lembaga penelitian mulai banyak
didirikan dengan berbagai komoditas yang ditangani sehingga banyak
hasil-hasil penelitian diperoleh dan dipublikasikan. Departemen
Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan Hindia Belanda dibentuk pada 1
Januari 1905 dengan Direktur pertama kalinya Dr. M. Treub. Tugas
Departemen Pertanian adalah memperbaiki keadaan pertanian, peternakan
dan perikanan tradisional yang kemudian dikenal sebagai pertanian
rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jaringan irigasi dan
infrastruktur lainnya guna meningkatkan produksi padi, palawija, dan
sayuran. Adanya kebijakan Departemen Pertanian menyebabkan produksi
tanaman pangan meningkat sehingga kebutuhan beras di luar Jawa dapat
dipenuhi dari hasil sawah di pulau Jawa (Untung, 2007).
Pada
masa pendudukan Jepang 1942-1945, dan masa pencapaian kemerdekaan
1945-1950 sebagaian besar peneliti Belanda ditahan dan atau dipulangkan
ke negeri Belanda. Bahkan lebih dari 80% peneliti senior
Belanda kembali ke Belanda. Pada zaman kolonial Jepang, tidak ada
perhatian sama sekali terhadap peningkatan produksi pertanian.
Kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945 tidak diiringi dengan kemerdakaan pangan.
Indonesia justru mengalami kekurangan pangan setelah memproklamirkan
kemerdekaan. Masalah utama yang dihadapi pemerintah dan rakyat Indonesia
adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan secara cukup untuk seluruh
penduduk. Pada tahun 1946-1947 terjadi kekeringan panjang yang
menurunkan produksi beras sehingga Indonesia harus melakukan impor dari
negara lain (Untung, 2007). Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Rencana program pemenuhan kebutuhan
pangan rakyat dicoba dikembangkan oleh pemerintahan Presiden Soekarno,
termasuk pengembangan tanaman pangan baik padi maupun
jagung, meskipun hasil yang diperoleh masih rendah. Indonesia mengadopsi
teknologi revolusi hijau untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan istilah
Panca Usaha Tani, meliputi penggunaan benih unggul, perbaikan
pengairan, penggunaan pestisida untuk menekan hama penyakit, penggunaan
pupuk anorganik, perbaikan teknik pemasaran (Martono, 2009). Konsep
Panca Usaha Tani lahir pada tahun 1962 (Untung, 2007), dinilai cukup
sukses, terbukti hasil padi dapat ditingkatkan dua kali lipat.
Penggunaan pestisida sintetik di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin meningkat dan dominan pada era 1950. Penghargaan dan penerimaan masyarakat terhadap teknik-teknik pengendalian hama lainnya menurun. Penggunaan pestisida oleh sebagian besar petani dianggap lebih efektif, lebih praktis, serta mendatangkan keuntungan ekonomi lebih besar dibandingkan pengggunaan teknik-teknik pengendalian hama lainnya. Era
setelah tahun 1960 merupakan era keemasan pestisida kimia. Permintaan
dan penggunaan pestisida pertanian meningkat sangat cepat sehingga
menumbuhkan industri-industri raksasa multinasional yang menguasai pasar pestisida dunia (Untung, 2006).
Keberhasilan
penggunaan pestisida dalam melindungi tanaman dari serangan hama pernah
menimbulkan optimisme masyarakat bahwa masalah hama sudah dapat
terselesaikan secara tuntas. Optimisme
tersebut mendorong negara-negara seluruh dunia menerapkan teknologi
intensifikasi pertanian untuk peningkatan produksi pangan. Teknologi
intensifikasi yang dikenal sebagai teknologi revolusi hijau dianggap mampu meningkatkan produksi pangan dunia dalam waktu cepat.
Kesuksesan program Panca Usaha Tani disebarluaskan dalam program Demonstrasi Massal pada MT 1964/1967. Program-program
intensifikasi seperti Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal
(Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus)
melibatkan jutaan petani dan jutaan hektar sawah.
Program-program intensifikasi tersebut dianggap mampu meningkatkan
produksi padi dan meningkatkan taraf hidup petani (Untung, 2007), namun
belum mampu membawa Indonesia berswasembada beras (Martono, 2009)
Pada
masa pemerintahan Orde Baru tahun 1970an, Presiden Soeharto
mengeluarkan Program Repelita I dan diikuti dengan Repelita-repelita
selanjutnya. Program pembangunan berencana tersebut memberikan prioritas
utama pada pembangunan pertanian nasional dengan tujuan peningkatan
produksi padi menuju tercapainya swasembada beras nasional (Untung,
2007). Dalam
program swasembada pangan tersebut, pestisida dimasukkan sebagai salah
satu paket produksi yang harus diambil sebagai kredit oleh petani
peserta program. Kredit
tersebut nanti harus dikembalikan oleh petani setelah panen tiba.
Kebijakan intensifikasi pertanian yang mendorong peningkatan penggunaan
pestisida oleh petani di Indonesia yang semula belum mengenal pestisida (Untung, 2006). Usaha mencapai swasembada beras dilakukan dengan
memanfaatkan semaksimal mungkin teknologi revolusi hijau. Berbagai
sarana dan prasarana dibangun seperti bendungan-bendungan besar yang
dapat meningkatkan luas panen tanaman padi. Berbagai program peningkatan
produksi beras diintroduksikan dan diterapkan secara nasional pada
kurun waktu tertentu sampai tahun 1990an.
Pada tahun 1978-1979 terjadi letusan hama wereng coklat padi pada ratusan ribu hektar sawah. Pada tahun 1985–1986, populasi kembali meletus dan merusak lahan padi seluas kira-kira 275.000 hektar (Untung, 2006). Ledakan serupa ini terjadi pula di Malaysia dan Thailand antara tahun 1977 dan 1990 (Whitten et al., 1990). Hama
wereng coklat merupakan hama padi “baru”. Sebelum tahun 1970 hama ini
belum pernah tercatat sebagai hama padi penting Indonesia. Akibat
letusan wereng coklat tersebut pencapaian sasaran produksi beras
nasional terhambat. Namun, ironisnya, sampai tahun
1979, banyak pakar belum menyadari bahwa kemunculan dan letusan wereng
coklat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penggunaan pestisida
kimia.
Sejak tahun 1977, kelompok
pakar perlindungan tanaman mengusulkan agar Pemerintah menerapkan PHT
untuk mengendalikan hama-hama tanaman pangan. Pada tahun 1980 Pemerintah
melaksanakan Proyek Rintisan Penerapan PHT pada tanaman padi di 6
propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan dan Sumatera Utara. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa
sawah yang menerapkan PHT produktivitasnya tidak berbeda dengan sawah
non-PHT tetapi penggunaan pestisida kimia lebih sedikit Untung, 2006).
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai sasaran swasembada beras naional. Pada
tahun 1985/1986 status swasembada beras terancam karena terjadi lagi
letusan lokal wereng coklat padi di pulau Jawa. Banyak hasil penelitian
yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa sebagian insektisida padi
yang direkomendasi mendorong terjadinya resurjensi wereng coklat (Untung
dan Mahrub, 1986 dalam Untung, 2006).
Pada titik kritis tahun 1985 – 1986, ketika ledakan kedua wereng coklat padi
sangat mempengaruhi kondisi swa sembada beras yang baru saja tercapai,
Indonesia memilih menggunakan pendekatan PHT. Pemerintah mengumumkan
Kebijakan PHT Nasional Indonesia pada tanggal 5 November 1986, dengan
munculnya Instruksi Presiden no. 3 tahun 1986 (INPRES 3/86)
tentang Pengendalian Hama Wereng Cokelat Padi. Melalui Inpres tersebut,
Presiden menginstruksikan untuk melakukan paling sedikit 4 butir
kebijakan, yaitu:
1. Menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya
2. melarang penggunaan 57 nama dagang formulasi (merek) insektisida pada padi
3. Melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng cokelat
4. Melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT
Inpres 3/1986 tersebut merupakan tonggak sejarah penerapan PHT di Indonesia (Untung, 2006). Kebijakan pelarangan pestisida tersebut diikuti dengan kebijakan pemerintah tentang pencabutan subsidi pestisida pada tahun 1989 (Martono, 2009). Langkah-langkah kebijakan tersebut memperoleh penghargaan dari banyak negara dan lembaga internasional (Untung, 2000). Sebagai tindaklanjut dari INPRES 3/86,
dibentuklah kelompok kerja menteri antarsektor untuk menerapkan
kebijakan PHT. Tanggungjawab penerapan PHT dipindahkan dari Departemen
Pertanian ke BAPPENAS.
Prioritas
yang diutamakan adalah mengubah perilaku petani, administrator dan
petugas pertanian dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan
keterampilan mereka. Kegiatan awal yang dilakukan adalah
menyelenggarakan rekrutmen dan kursus kilat PHT untuk memilih dan
melatih para calon pemandu, pengamat hama, petugas penyuluh lapangan
(PPL) dan petani. Bank Dunia menyetujui realokasi sisa pinjamannya yang
digunakan pada proyek Penyuluhan Nasional (USD 4,2 juta untuk Proyek
Penyuluhan Nasional tahap II) untuk pelatihan PHT. Integrated Crop Protection (ICP) FAO membantu Direktorat Perlindungan Tanaman Departemen Pertanian
untuk memperoleh data lapangan PHT dan memperluas kisaran latihan
kepada para spesialis. Varietas tahan wereng (VUTW, misalnya IR36 dan
IR64) dipromosikan dengan lebih gencar, dan jaringan Pengamatan,
Peramalan dan Peringatan Dini diperluas agar dapat dengan segera
mengatasi permasalahan hama (wereng) di lapangan.
Proyek
Perintis PHT Nasional dilaksanakan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi
Selatan. Antara tahun 1980 dan 1983, Program Nasional PHT menerima
bantuan teknis dari kelompok khusus IRRI dan proyek penelitian dari
Jepang (FAO, 1989). ICP mulai memperkuat Program Nasional PHT Indonesia
pada tahun 1980 dengan mengingkatkan paket pelatihan dan teknologi
dengan pengalaman yang diperoleh dari proyeksi Program Nasional
Filipina. Direktorat Perlidungan Tanaman
mengatur pelaksanaan demonstrasi PHT dengan pendekatan yang sama dengan
pendekatan pada program Bimas (LAKU). Pada tahun 1984, ICP dan Direktorat Perlindungan Tanaman
melakukan survei pada lahan-lahan demonstrasi PHT dan melihat bahwa
populasi hama di beberapa wilayah meningkat pesat (van de Fliert, 1993).
Setelah
Inpres 3/1986, dukungan yuridis terhadap PHT diperkuat dengan keluarnya
UU. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU tersebut
menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem
Pengendalian Hama Terpadu. Berdasarkan UU ini, tahun 1995 Pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah No.6 tahu 1995 tentang Perlindungan
Tanaman. Dengan dua peraturan perundang-undangan tersebut, kedudukan PHT
sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman menjadi sangat kuat
(Untung, 2007)